Judul Buku : Cantik Itu Luka
Pengarang Buku : Eka Kurniawan
Penerbit Buku : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman Buku : 508 halaman
Tahun Terbit Buku : - Cetakan pertama pada tahun 2002
- Cetakan ke delapanbelas pada tahun 2019
Pengulas : Putri Malinda
Ulasan
Eka Kurniawan adalah seorang penulis asal Indonesia yang lahir di Tasikmalaya pada tanggal 28 Novenber 1975 dan tahun ini sudah berumur 44 tahun. Beliau menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Eka kurniawan telah menikah dengan seorang wanita bernama Ratih Kumala pada tahun 2006. Beliau terpilih sebagai salah satu “Global Thinkers of 2015” dari jurnal Foreign Public serta mendapatkan pernghargaan Prince Claus Fund dari Prince Claus Award 2018 dengan bukunya “Cantik itu Luka”
Buku “Cantik itu Luka” secara garis besar merupakan buku novel berbau sejarah yang membahas tentang masa kolonial hingga masa orde baru dari sudut pandang yang sangat berbeda dari yang dipelajari secara umum. Cerita ini berlatar belakang di kota Halimunda dengan pemeran utama seorang gadis bernama Dewi Ayu yang merupakan keturunan Belanda dengan garis keturunan yang unik, karena ibu dan ayahnya merupakan saudara seayah dari ibu yang berbeda.
Cerita ini dimulai dengan kebangkitan Dewi Ayu dari kematiannya selama dua puluh satu tahun yang memiliki alur cerita mundur saat Dewi Ayu kembali mengenang masa lalunya. Dewi Ayu yang merupakan seorang keturunan Belanda dengan namanya yang merupakan khas orang pribumi atau bisa kita sebut orang Indonesia adalah seorang anak gadis yang memiliki pola pikir berbeda dari anak-anak seusianya. Dia cukup keras kepala dan dewasa serta sedikit unik.
Pada saat usia 16 tahun, Dewi Ayu memutuskan untuk menikah dengan Ma Gedik, seorang lelaki tua yang mencintai neneknya, Ma Iyang, setelah dia ditinggalkan oleh kakek dan neneknya yang melarikan diri kembali ke Eropa karena pasukan jepang telah masuk ke wilayah Indonesia. Namun kehidupan pernikahan Dewi Ayu tidak berjalan lancar karena Ma Gedik lebih memilih mati ketimbang harus hidup bersama gadis yang sangat cantik itu.
Setelah berakhir dari masa berkabung selepas meninggalnya Ma Gedik dan Ted Stammler, kakeknya, Dewi Ayu bersama seluruh keturunan belanda yang ada di Halimunda ditahan di Bloedenkamp yang dulunya merupakan penjara untuk para kriminal pada masa kolonial dan kini digunakan oleh orang Jepang untuk menahan sisa-sisa orang Belanda yang ada di Indonesia.
Masa Dewi Ayu selama didalam tahanan Bloedenkamp benar-benar menderita. Kekurangan makanan, tempat yang kurang bersih sehingga kerap kali penyakit malaria akan menyerang sampai mereka mati. Tak ada obat, air, dan tempat tidur yang pantas. Saat merasa sangat lapar mereka akan memakan lintah yang ada disana, cicak, katak dan hewan-hewan yang ada disekitarnya hingga benar-benar habis. Dewi Ayu bertahan di penjara itu selama 4 tahun hingga ia di bawa ke sebuah rumah mewah bersama para gadis yang lainnya untuk dijadikan pelacur.
Sejak saat itu, Dewi Ayu menjadi seorang pelacur yang bekerja di rumah pelacuran Mama Kalong. Dari pekerjaannya, Dewi Ayu memiliki empat orang anak perempuan yang masing-masing menuruni kecantikan ibunya kecuali si bungsu tanpa mengetahui siapa ayah mereka.
Anak pertamanya bernama Alamanda, seorang gadis pemain lelaki yang akhirnya takluk pada seorang lelaki bernama Kliwon namun menikah dengan seorang prajurit gerilyawan bernama Shodancho karena terpaksa. Sedangkan Kliwon yang masih memendam sakit hati dari Alamanda dan menjadi orang terpenting dalam partai komunis akhirnya jatuh cinta untuk yang kedua kalinya pada anak ke dua Dewi Ayu bernama Adinda, seorang gadis sederhana yang sangat pengertian.
Anak ke tiga Dewi Ayu bernama Maya Dewi yang menikah pada usia 12 tahun karena dijodohkan oleh ibunya dengan seorang preman kota yang mencintai Dewi Ayu bernama Maman Gendeng, seorang lelaki yang sangat tergila-gila pada cerita tentang putri Rengganis dengan kecantikan yang luar biasa namun menikah dengan seekor anjing. Sehingga ia memutuskan untuk memberi nama anaknya Rengganis si cantik
Anak ke empat Dewi Ayu di beri nama Cantik, meskipun anak ini memiliki wajah buruk rupa. Dari saat melahirkan si Cantik hingga memutuskan untuk mati, Dewi Ayu sama sekali tak pernah melihat wajah anak terakhirnya ini karena berpikir bahwa ia pasti seorang anak perempuan yang cantik seperti ketiga kakaknya. Sehingga dia tak pernah tahu bahwa paras anak itu persis seperti harapannya yang tak ingin lagi memiliki anak perempuan cantik, dengan ciri-ciri kulit yang sangat hitam, hidung yang mirip colokan listrik, mulutnya seperti celengan, dan telinga yang seperti gagang panci. Hingga semua orang menganggap anak itu adalah kutukan atau monster yang membuatnya menjadi penyendiri dan tak berani untuk bertemu orang lain.
Menurut saya, buku “Cantik itu Luka” karangan Eka Kurniawan ini merupakan buku bacaan ringan yang sangat mudah dipahami dengan gaya menulis yang penuh estetika dan pandangan surealis dalam sebuah karya fiksi. Kisah yang patut diapresiasi, dengan menampilkan sejarah Indonesia yang tak akan disinggung dalam pelajaran formal namun dari sudut pandang yang berbeda tanpa niat merubah sejarah itu sendiri pada masa pasca kolonial. Menyajikan beberapa kisah yang melatar belakangi setiap tokohnya dalam sebuah cerita sederhana dan sangat mudah untuk dicerna.
Kelebihan buku “Cantik itu Luka” ada pada kisah setiap tokohnya. Tak banyak novel yang akan membahas latar belakang setiap tokoh yang terlibat didalamnya, namun memilih untuk fokus hanya pada pemeran utama saja. Adapun kelebihan lain yaitu dari gaya penulisan yang sangat unik dan mudah dipahami serta banyak hal yang dapat dipelajari dari buku ini
Sedangkah kekurangan buku ini ada pada kisahnya yang sedikit menyinggung tentang hal yang cukup vulgar dan perputaran waktu yang agak membingungkan.
Bagi saya, buku ini mengajarkan banyak hal. Menampilkan kisah pada masa pasca-kolonial yang menunjukkan penyiksaan yang dihadapi sang pemeran utama. Pemaksaan hingga kekerasan yang tak tanggung-tanggung dilakukan masa itu. Pembunuhan anggota partai komunis yang akhirnya menjadi hantu di kota Halimunda. Serta hal sederhana yang sesuai dengan judulnya, yaitu kecantikan setiap wanita tidak hanya membawa pujian untuknya, namun juga terkadang hal itu akan menjadi luka baginya.
sekian
Komentar
Posting Komentar