Judul buku : Panggil Aku Kartini Saja
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Pengulas : Widya Ningsih/Angkt: Muttia Ate
Kartini, Seorang anak dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Bupati Jepara pada masanya) dan Ngasirah (seorang wanita biasa dari kalangan rakyat jelata). Gadis Jepara yang dikenal sebagai pendekar bangsa untuk kaumnya, memberi inspirasi terhadap perjuangan kaum wanita dan kepada bangsa pribumi yang kelak bernama Indonesia.
Kartini adalah orang pertama dalam sejarah bangsa indonesia yang menutup zaman tengah, zaman feodalisme pribumi yang "sakitan" menurut istilah Bung Karno.
Di dalam buku ini, murni adalah pemikiran Kartini sebagai pribumi terhadap kungkungan penjajahan Belanda, dan penindasan feodalistik yang dirasakannya
Jiwa Kartini yang demokratis, yang menghendaki persamaan antara sesama manusia, bukan lagi feodalisme atau kasta yang bersandar pada keluhuran golongan tertentu dari masyarakat yang turun temurun. Terhadap kehidupan feodal, Kartini sangat melawan dan memeranginya terkecuali ayahnya.
Kartini Yang memilih sastra sebagai alat perjuangan diantaranya adalah Tulisan Kartini tentang ukiran Jepara mampu menembus pasar Eropa, dan hasil kerajinan ukiran Jepara banyak diburu orang Eropa, yang berdampak positif bagi perekonomian pribumi waktu itu. Tak berhenti di situ, segala kasus apa pun yang menimpa kaum pribumi Kartini berusaha angkat melalui penulisan dan dikirimkan ke media, alhasil banyak karya Kartini dimuat dan dibaca. Dari situlah Kartini ingin membuka mata Internasional, bahwa anak-anak Pribumi mampu berbuat sesuatu, mampu menghasilkan sesuatu meski kehidupannya dalam penindasan. Dari tulisan Kartinilah, banyak negara-negara Eropa yang simpati dan mendukung antidiskriminasi dan mengecam penjajah Belanda. misi suci dari Kartini dalam melawan penjajah Belanda dan kaum feodal yang mengangkangi ratusan tahun kaum pribumi. Itu semua menurut Kartini hanya satu penyebabnya yaitu, kebodohan. Maka dari itu satu terobosan lagi yang dilakukannya adalah mendirikan sekolah agar anak didiknya sanggup membaca dan menulis sehingga tak ada yang bisa menipu mereka lagi. Lebih tepatnya menipu harga diri martabat mereka sebagai kaum pribumi.
Kartini menolak sistem feodalisme Jawa yang berkembang pada masa itu. Bentuk penolakan itu tampak jelas dari keinginannya untuk dipanggil tanpa gelar bangsawan atau panggilan kebesaran, seperti termuat di salah satu suratnya ke Estelle Zeehandelaar tertanggal 25 Mei 1899 yang berbunyi: “Panggil aku Kartini saja—itulah namaku.”
Pesan penting Kartini kepada kaumnya, ”Barangsiapa tidak berani, dia tidak bakal menang, itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!”
Komentar
Posting Komentar